“Berbahasa jang Satoe”, atau “Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean”?

Apakah anda ingat teks Sumpah Pemuda?

Mungkin ada yang mengatakan sebagai berikut:

Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku:

berbangsa satu, bangsa Indonesia;

bertanah air satu, tanah air Indonesia;

berbahasa satu, Bahasa Indonesia.

Mungkin urut-urutannya tidak sama, tetapi kebanyakan orang akan mengatakan “berbahasa satu, Bahasa Indonesia”. Benarkah demikian?

Ternyata tidak. Teksi asli Soempah Pemoeda menyebutkan:

  • PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
  • KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
  • KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Perhatikan bahwa ada perbedaan substansial antara “menjunjung bahasa persatuan” (teks asli) dan “mengaku berbahasa satu” (teks yang sering diajarkan di sekolah; entah saduran siapa). Perbedaannya: “menjunjung bahasa persatuan” tidak berarti menafikan atau menabukan penggunaan bahasa yang lain. Kita masih bisa menggunakan bahasa daerah, bahasa asing, bahkan bahasa kontemporer atau bahasa ‘gaul’.

Kesalahkaprahan di atas mungkin hasil indoktrinasi Orde Baru yang ingin membuat segalanya serba seragam, termasuk dalam hal berbahasa. Maka itu orang-orang yang pernah mengalami hidup di jaman Orde Baru pasti ingat frasa “berbahasa yang baik dan benar”, yang kemudian diartikan bahwa bahasa yang “baik dan benar” itu adalah yang seperti di buku teks resmi pelajaran Bahasa Indonesia saja.

Karena adanya indoktrinasi “bahasa yang baik dan benar” itu, banyak orang lantas menjadi latah untuk berbahasa. Di satu sisi, harus diakui bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih berkembang, tidak seperti bahasa-bahasa lain yang telah mapan, terdokumentasi dengan baik dan terbakukan. Di sisi lain, penutur Bahasa Indonesia pun sebenarnya banyak yang masih belajar bahasa tersebut. Atau lebih tepatnya: banyak penutur Bahasa Indonesia yang sebenarnya belum fasih berbahasa Indonesia. Mereka merasa menggunakan Bahasa Indonesia (yang berbeda dari bahasa asing maupun bahasa daerah), tetapi sebenarnya yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dengan pengaruh-pengaruh lokal dan asing, serta “improvisasi” bahasa yang terjadi secara lokal dan temporer.

Akibat ketidakfasihan berbahasa Indonesia tersebut, timbullah kegagapan ketika orang dipaksa berbahasa baku; misalnya ketika menjawab pertanyaan ujian di sekolah atau perguruan tinggi, memberikan sambutan dalam forum resmi, menyapa orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi atau dihormati, menulis atau berbicara di media massa arus utama, dan lain-lain. Bentuk-bentuk kegagapan di antaranya:

  • menggunakan kata-kata yang kedengarannya “baku”, tetapi tidak pada tempatnya. Misalnya menggunakan untuk menghindari akhiran “-in”, maka menggunakan akhiran “-kan” dan “-i” tetapi terbalik-balik penempatannya
  • mati-matian menghindari istilah asing, walaupun istilah asing yang dihindari sebetulnya sudah menjadi istilah serapan yang baku
  • mengindonesiakan istilah asing secara mengada-ada, misalnya “garden” menjadi “gardena” pada nama-nama properti.

Contoh-contoh kegagapan tersebut mestinya bisa diatasi jika kita memahami intisari bahasa: bahasa adalah alat komunikasi. Pembakuan tatabahasa dan istilah dilakukan agar ada kesamaan pemahaman, sehingga tujuan komunikasi tersebut tercapai. Mengindonesiakan istilah-istilah asing saja tidak menjadikan suatu tuturan atau tulisan menjadi “Bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Demikian juga dengan penafian terhadap istilah-istilah dari bahasa daerah. Maka istilah “bahasa yang baik” adalah bahasa yang sesuai dengan konteks dan latar belakang penutur/pendengar atau penulis/pembacanya. Sedangkan “bahasa yang benar” adalah bahasa yang tatabahasanya mengacu kepada tatanan yang sudah dibakukan dan diterima secara umum. Therefore, using foreign languages in part of a speech is not a taboo, as long as it still uses the proper grammar in its own context. (Catatan: penggunaan kalimat berbahasa Inggris tadi tidaklah terlalu perlu, namun dilakukan hanya sebagai contoh saja.)

Kembali ke topik awal. Sekali lagi, kita menjunjung bahasa persatuan, tetapi tidak membinasakan bahasa daerah dan tidak menjauhi bahasa asing. Lebih jauh lagi, yang disebut bahasa persatuan itu — Bahasa Indonesia — adalah bahasa yang dinamis dan masih berkembang. Interaksi dengan bahasa asing dan bahasa daerah akan memperkaya Bahasa Indonesia, oleh karena itu tidak perlu ditabukan. Di sisi lain, penggunaan tatabahasa dan kosakata yang logis adalah hal yang utama; janganlah merusak bahasa dengan penggunaan kata-kata yang tidak tepat makna, atau susunan kalimat yang tidak runtut.

Selamat berbahasa dengan baik dan benar.

4 responses

  1. wah, setuju sekali dengan artikel ini..
    justru perbedaan bahasa itu adalah tanda mengenai kekayaan budaya di indonesia, sayang ya, dari pihak yg berwenang belum ada kesadaran mengenai hal ini..
    padahal kl mo dipelajari, dokumentasi dan diexpose…
    wah, ini bisa jadi salah satu daya tarik indonesia…
    mudah-mudahan hal ini bisa terealisasi suatu waktu…

  2. Gangsar Sulistyarto | Balas

    Asslm.wr.wb.
    Ternyata Mas Probo tidak hanya peduli pada PENGUKURAN saja, tetapi fasih juga mengulas tentang bahasa tercinta kita ……… saluuut
    Tulisan yang lain ditunggu Mas, maturnuwun.
    Wasslm.wr.wb.

  3. Meskipun tulisan ini sudah berumur setua sang penulis (hehe), saya tidak tahan untuk tidak berkomentar. Saya suka sekali dengan bagian “… kita menjunjung bahasa persatuan, tetapi tidak membinasakan bahasa daerah dan tidak menjauhi bahasa asing.” Contoh-contoh kegagapan yang disampaikan pun sangat mengena. Terima kasih, Mas Probo.

  4. L.T. Handoko | Balas

    Probo, bagus sekali ! Artikel semacam ini cocok dan bagus sekali kalau dimuat di Blog LIPI. Pasti bakal dipilih Editor di Humas BKPI untuk tampil di laman depan web LIPI sebagai KOLOM.

Tinggalkan Balasan ke anthony Batalkan balasan