Take off to Padang

Ini pertama kalinya ke Padang. Tugas asesmen ke BPMB Padang. Berangkat dari Jakarta hari Rabu 25 Juli jam 16.50 naik Sriwijaya — tumben, pesawatnya on time. Tiba di Padang sekitar 18.45, dijemput pak Furmansyah dari BPMB Padang.

Seperti yang saya dengar, memang di Padang nggak ada restoran atau rumah makan Padang. Saya sudah khawatri akan diberi makan yang pedas-pedas, karena seperti itulah masakan yang sering saya temukan di “restoran Padang” di Jakarta. Tetapi ternyata tidak begitu. Malam pertama, saya diajak makan ikan bakar dan ayam bakar. Tidak (terlalu) pedas, walaupun saya makan dengan sambal hijaunya.

Siang hari di hari pertama, saya diajak makan di restoran yang tidak ada tulisan “restoran Padang” tapi kira-kira mirip dengan restoran Padang yang ada di Jakarta. Hanya bedanya, tempat duduknya lesehan (belum pernah saya lihat restoran Padang lesehan di Jakarta). Saya makan ikan bakar lagi. Lagi-lagi, tidak terlalu pedas.

Malam harinya, diajak makan ikan bakar lagi. Herannya, saya tidak bosan juga dengan ikan bakar. Pertama, karena saya memang suka ikan. Kedua, karena yang kemarin adalah ikan air tawar dan yang sekarang ini ikan laut. Ketiga, karena bumbunya sedikit berbeda dan ada saus yang belum pernah saya rasakan sebelumnya — campuran kecap, cabai dan cuka dan rempah-rempah lainnya. Dan sekali lagi, tidak terlalu pedas. Heran, kenapa makanan Padang di Jakarta begitu pedasnya?

Kota Padang tidak terlalu besar. Mungkin sebesar kota Bogor atau Tangerang. Jalan-jalannya teratur dan tidak macet. Ada dua hal yang khas dengan lalu lintas di sini. Pertama, angkot di Padang yang hampir semuanya full of accessories. Hampir semuanya disetel “ceper”, menggunakan body skirt atau fairing, penuh stiker atau body painting, nggak kalah dengan sedan-sedan anak muda.

Hal kedua adalah kebiasaan para pengemudi menyalakan lampu hazard jika mendekati perempatan jalan dan mereka hendak mengambil arah yang lurus. Saya memang pernah mendengar istilah “sein lurus” untuk menyebut lampu hazard ini — suatu istilah yang menurut saya salah kaprah — tapi baru di sini saya melihat kebiasaan ini diterapkan secara meluas.

Kalau Medan punya Bika Ambon Fatimah, Surabaya punya Bhek dan Bandung punya Kartika Sari, maka Padang punya Christine Hakim. Ini adalah sebuah toko penjual oleh-oleh “khas Padang”. Mulanya saya menduga toko ini hanya meminjam nama bintang film terkenal tersebut. Setelah saya lihat-lihat beberapa guntingan artikel koran dan majalah yang dipajang di dalam toko tersebut, saya baru ngeh bahwa ternyata memang toko itu milik “Christine Hakim, asli Padang”. Huh? Christine Hakim orang Padang? Betul, tapi yang ini memang bukan Christine yang bintang film itu. Ketipu aku. Oh ya, tanpa saya sadari (baru saya sadari saat akan meninggalkan toko), ternyata ibu Christine ikut menunggui kasir.

Apa yang dijual Christine? Penganan khas Padang, seperti emping dan keripik balado, rendang kering (ada yang dibuat dari paru, lokan — semacam kerang — dan tentu saja daging lembu). Seperti halnya sebuah toko yang sengaja menjual komoditas “oleh-oleh”, toko ini sudah siap dengan kardus ukuran sedang dan alat pengemas. Barang belanjaan tinggal dimasukkan ke dalam kardus ini dan langsung dikemas dengan tali, sehingga mudah dijinjing dan dibawa naik pesawat.

Masih terkait dengan makanan khas Padang, ada satu hal yang bikin saya gusar. Orang Padang makan makanan Padang umumnya menggunakan tangan telanjang (tanpa sendok). Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjuang. Maka saya pun makan dengan tangan telanjang (walaupun sendok disediakan). Memang lebih nikmat. Tetapi di empat rumah makan yang saya kunjungi, hanya satu yang menyediakan sabun di tempat cuci tangan! Halah, apa orang sini belum pernah dengar kampanye tangan bersih? Heran, apa nggak pada sakit perut karena makan tanpa cuci tangan?

Hey, ada hotspot gratis di lounge keberangkatan bandara Padang!

Judul di atas dicontek dari judul lagu Karimata

6 responses

  1. Selamat bersenang-senang di Padang. Tapi masalah cuci tangan, ada kok cuci tangannya disediakan, dan memang tidak pakai sabun. Malahan saya pernah baca beberapa blog, katanya kalau keseringan cuci tangan pakai sabun malahan bikin kumannya semakin kebal. Gimana tuh?

  2. @Rafki

    Memang disediakan sarana cuci tangan (baik berupa keran air maupun mangkok berisi air bersih). Yang saya persoalkan, tidak disediakan sabun.

    Saya belum pernah mendengar alasan bahwa kuman bisa jadi kebal kalau kita cuci tangan pakai sabun. Sabun bukan untuk mematikan kuman, melainkan untuk menghilangkan kuman. Dan selain kuman, juga ada residu bahan-bahan kimia yang mungkin berbahaya, yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan air. Jadi, cuci tangan sebelum makan tetap perlu menggunakan sabun.

  3. sedikit info aja pak, kelihatannya lampu hazard utk jalan lurus n angkutan kota yang full accessories, kelihatannya bukan cuma di padang, tp juga di manado…
    sy pernah tinggal disana beberapa waktu, n hal yg sama juga berlaku disana, bahkan ada beberapa angkot yg pasang speaker segede2 “bagong” dan walau angkotnya blum keliatan, suaranya dah nongol duluan (walaupun mreka stel lagu2 pop)

    tapi, untuk makan pake tangan, hehehe di manado makannya masih pake sendok dan garpu pak….

  4. info aja nih .
    kalo menurut saya sih ga disediain sabun soalnya di kobokan ada jeruk nipisnya kan ?
    ampuh bgt tuh buat cuci tangan yg berminyak .
    wangi jg qug .
    hhe
    saya tetep cinta padang deh 😀

  5. @Ocha: yang lebih penting itu cuci tangan sebelum makan, jadi perlu sabun untuk menghilangkan kotoran dan kuman di tangan yang sumbernya dari mana-mana.

Tinggalkan komentar